Nama : Diah Ayu Lestari
NPM : 11110946
Kelas : 2 KA 24
Nama Dosen : Edy Nursanta
Mata Kuliah : Teori Organisasi Umum
Pendahuluan
You cannot not to be in conflict. Demikianlah ungkapan banyak kalangan masyarakat. Konflik itu sesuatu yang tidak bisa dihindari. Yang bisa dilakukan adalah mengelola konflik dengan tepat sehingga tidak menimbulkan efek negatif atau dampak yang merusak. Demikian pula dalam kehidupan rumah tangga.
Dalam konteks yang luas, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234). Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Yang menjadi persoalan bukanlah bagaimana menghindari konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan kelompok. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam kehidupan keluarga, sosial dan organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun kelompok.
Teori
Teori-teori mengenai berbagai penyebab konflik
Teori Hubungan Masyarakat
Teori Hubungan Masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
- Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
- Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.
Teori Negosiasi Prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
- Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
- Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
Teori Kebutuhan Manusia
Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan.
Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
- Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
- Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
Teori Identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
- Melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
- Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
Teori Kesalahpahaman Antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
- Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain.
- Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain.
- Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
Teori Transformasi Konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
- Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi.
- Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik.
- Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan , perdamaian, pengampunan , rekonsiliasi dan pengakuan.
Pembahasan
Konflik Rumah Tangga
Menurut
Retnoningsih dalam kamus besar bahasa Indonesia (2005:267) konflik adalah
percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Dalam “bingkai” rumah tangga banyak
sekali faktor yang memicu munculnya konflik diantaranya perbedaan pada umumnya pemicu utama konflik adalah adanya harapan. Saat
seseorang pendapat, pola pikir, harapan/
keinginan, pola asuh, dan lain sebagainya. Namun, memutuskan untuk
menjalin pernikahan dengan orang lain, sebenarnya dia mempunyai
harapan- harapan yang akan ia bebankan pada pasangannya untuk mewujudkan
harapan tersebut. Tetapi, ketika kehidupan rumah tangga telah berlangsung
dan pasangan tidak dapat memenuhi harapan tersebut maka saat itulah konflik
akan muncul.
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya konflik dalam kehidupan rumah tangga, di antaranya adalah :
1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pemikiran, perasaan, kecenderungan, dan peran antara suami dan isteri
Sejak awal, pernikahan adalah mempertemukan dua pribadi, dua jiwa, dua pemikiran, dua perasaan, dua kecenderungan yang tidak sama. Ini sudah menjadi benih konflik, kalau masing-masing tidak mencoba memahami pasangannya.
2. Perbedaan pengalaman hidup dan latar belakang kultur sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda antara suami dan isteri
Saat pernikahan, bertemulah dua pribadi dengan latar belakang keluarga yang berbeda, kebudayaan yang berbeda, pengalaman yang berbeda. Mendefinisikan kata “sederhana” dan “apa adanya” akan berbeda, karena latar belakang yang memang tidak sama.
3. Perbedaan kepentingan antara suami dan isteri
Suami dan isteri bisa memiliki kepentingan yang tidak sama. Misalnya kepentingan pengembangan potensi isteri, pengembangan karir suami, dan lain sebagainya, dihadapkan kepada berbagai keterbatasan yang dimiliki.
4. Perubahan-perubahan dalam keluarga dan masyarakat
Keluarga adalah “organisme hidup”, dimana masing-masing pihak berkembang dan dinamis. Ada banyak perubahan setiap hari, yang karena kesibukan dan keterjebakan kepada rutinitas, perubahan tersebut tidak dimengerti.
Dampak Konflik Keluarga pada Anak-anak
Dampak Negatif
Setiap konflik dalam keluarga
(pertengkaran orang tua), pasti mempengaruhi pola pikir dan kelakuan anak. Apa
lagi jika konflik tersebut diperlihatkan di depan anak. Ada beberapa hal yang
dapat mempengaruhi psikis anak dalam konflik rumah tangga. Seperti besarnya
konflik, usia anak dan jenis kelamin anak (anak perempuan biasa lebih sensitif
ketimbang anak laki-laki).
Apabila konflik yang terjadi masih kecil,
orang tua pasti mampu menutupinya. Dan, anak tidak akan mengetahui masalah itu
karena orangtua tidak memperlihatkan konflik di depan anak. Kecuali jika
konflik sudah membesar dan orang tua tidak dapat menutupinya dari anak, akan
sangat berpengaruh pada mental anak.
Konflik berkepanjangan yang terjadi pada
keluarga akan membawa dampak psikologis anak saat mereka remaja. Ketika anak
masih balita, mereka belum merasakan apa-apa. Namun memori otaknya akan tetap
merekam setiap peristiwa yang mereka alami, meski hanya seperti mimpi.
Bayang-bayang ini akan semakin jelas terpateri dalam pikiran mereka ketika
beranjak remaja. Karena pada saat itu, mereka mulai mengerti realita kehidupan.
Tekanan psikis tersebut akan berujung pada
depresi dan trauma bagi anak. Depresi biasanya berkelanjutan. Anak yang
mengalami depresi, selalu menganggap dirinya tidak berguna atau merasa tidak
bisa melakukan apa-apa. Mereka kemudian mengaitkan kekurangan diri, baik dalam
bentuk materi maupun fisik dengan setiap kejadian di lingkungannya. Bahkan ada
anak yang menggunakan obat-obat terlarang atau merasa ingin bunuh diri untuk
mengakhiri penderitaannya.
Sementara trauma, lebih condong pada
ketakutan terhadap diri sendiri dan lingkungan. Misalnya, seorang anak yang
takut akan kekerasan, akan merasa ketakutan saat mendengar suara keras. Ia juga
merasa ketakutan saat melihat kerumunan orang banyak.
Untuk membantu anak-anak yang mengalami
depresi dan trauma karena konflik orang tua, sebaiknya melibatkan pihak ketiga.
Dorongan bisa diberikan oleh orang dewasa di lingkungan keluarga besar,
pembantu atau guru. Hal ini dilakukan kalau orang tuanya sudah tidak sanggup
lagi memotivasi anaknya untuk bisa sembuh dari trauma dan depresi. Orang-orang
ini dianggap pantas memberikan motivasi karena lebih mengetahui keseharian anak
dibandingkan yang lain. Selain itu, usia mereka yang dewasa, diharapkan mampu
menilai konflik dengan kepala dingin.
Segala tindakan orang tua dalam menghadapi
konflik akan membuat anak meniru apa yang mereka lakukan. Seperti caci maki,
tindak kekerasan dan pengusiran. Anak-anak akan melakukan hal yang sama karena
mereka melihat itu dari orang tuanya. Namun jika mereka tidak berhasil, mereka
akan memadukan cara yang ditempuh orang tuanya dengan cara yang mereka anggap
dapat diterima akal dan pikirannya.
Jika orang tua akhirnya harus bercerai,
sebaiknya anak diberi kebebasan untuk memilih sendiri, mereka mau ikut siapa.
Karena anak mampu memilih mana yang terbaik. Terbaik disini bukan baik dari
segi materi atau konsep yang diberikan dalam menjalankan fungsi orang tua,
melainkan rasa aman dan nyaman.
Pengadilan Agama diharapkan juga mampu memutuskan yang terbaik untuk anak,
bukan atas desakan orang tua saat persidangan. Kepada orang tua yang dipilih
oleh anak atau pengadilan untuk mengasuh anak-anaknya, sebaiknya jangan
mengekang mereka dengan pengaturan waktu kunjungan pasangan yang terlalu ketat.
Karena anak akan merasa senang jika orang tua berada di sisinya, meski sudah
bercerai.
Dampak Positif
Marah sebenarnya tidak selalu bermakna
buruk. Begitu pula konflik, tidak selalu diartikan sebagai sesuatu yang
negatif. Dalam hidup berumahtangga tak selamanya berjalan mulus. Pertengkaran
adakalanya menghiasi perjalanan sebuah perkawinan. Anggaplah itu sebagai
bunga – bunga yang mewarnai perjalanan hidup berumahtangga.
Lalu apakah anak tidak boleh tahu bahwa
orang tuanya bertengkar?
Ada banyak alasan yang
dikemukakan para ahli psikologi dan pendamping keluarga tentang beberapa
keberatan yang diajukan bila orangtua bertengkar di depan anak – anak, antara
lain adalah dampak traumatis dalam diri si anak ketika menyaksikan orangtuanya
bertengkar atau berselisih paham.
Anak menjadi terganggu perkembangan
psikologisnya. Merasa cemas, ketakutan, kuatir dan tidak nyaman berada di
rumah.
Namun ada pula sebagian pendapat
yang mengatakan bahwa tidak masalah anak tahu orangtua bertengkar sejauh itu
tidak terjadi kekerasan, saling menyakiti dan tidak melontarkan kata –
kata yang kasar kepada pasangan.
Bertengkar dengan pasangan Anda di depan anak-anak memang
menjadi hal yang tabu. Tetapi itu menurut orang tua zaman dulu. Di zaman modern
ini, bertengkar di depan anak-anak Anda bukan lagi menjadi hal yang tabu.
Bahkan dengan bertengkar di depan anak-anak Anda, dapat memberikan pelajaran
bagi mereka untuk mengatasi masalah mereka dengan pasangan mereka nantinya.
Itulah hasil dari sebuah
penelitian yang dipublikasikan dalam the
Journal of Child Psychiarty and Psychology. Para ahli mengungkapkan,
memasuki abad 21 ini, psikologi anak-anak tidak sama dengan psikologi Anda
sewaktu masih menjadi anak-anak. Anak-anak zaman sekarang tidak akan terganggu
psikologinya saat melihat orangtua mereka bertengkar di depan mereka.
Lalu apakah ini artinya
Anda boleh bertengkar dengan pasangan Anda di depan anak-anak kapan pun Anda
mau? Tunggu dulu! Para ahli memang memberikan lampu hijau bagi Anda untuk
bertengkar di depan anak-anak. Tetapi bukan pertengkaran di mana nada suara
Anda meninggi, dan mulai mengucapkan kata-kata yang tidak sopan seperti makian
dan cacian.
Bertengkar di depan
anak-anak Anda diperbolehkan, asal pertengkaran itu berupa pertengkaran antara
dua orang dewasa. Dalam artian, Anda mencoba menyelesaikan masalah Anda dan
pasangan dengan kepala dingin, berbicara tanpa harus ada kata-kata makian dan
nada suara yang meninggi. Dengan begitu anak-anak Anda dipercaya akan belajar
dari cara orangtuanya menyelesaikan masalahnya.
Baik untuk anak,
menjadikan mereka bagian dalam konflik yang ada dalam perkawinan Anda. Namun
hindari mendiskusikan masalah keuangan atau masalah percintaan Anda di depan
anak-anak yang masih kecil. Jika anak sudah menginjak usia remaja, mungkin Anda
bisa mengajaknya ikut dalam berdiskusi agar anak pun ikut merasa menjadi bagian
dalam keluarga.
"Jadikan proses belajar mengatasi konflik menjadi pengalaman yang positif bagi anak - anak."